Kisah Patih Gajah Mada Rusak Kemesraan Majapahit dan Sunda, Picu Perang Bubat

waktu baca 3 menit
Perang bubat antara Majapahit dan Sunda konon memicu larangan Suku Sunda untuk menikah dengan Suku Jawa. Foto/IST

EGO Kerajaan Majapahit dan Sunda sebagai dua kerajaan besar di masanya hancur akibat ambisi politik Mahapatih Gajah Mada dalam Perang Bubat. Padahal, sebelum hubungan kedua kerajaan memburuk, Majapahit dan Sunda pernah memiliki hubungan harmonis dan saling terkait.

Konon, Prabu Sanghyang Wisnu dari Kerajaan Sunda memiliki putra mahkota bernama Rakryan Jayadarma yang berkedudukan di Pakuan. 

Berdasarkan Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3, Rakryan Jayadarma menikah dengan Dyah Lembu Tal, putri Mahisa Campaka dari Jawa Timur. Pernikahan ini menjadi simbol hubungan erat antara Sunda dan Majapahit di masa awal.

Dari pernikahan ini lahirlah Nararya Sanggramawijaya, yang kemudian dikenal sebagai Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit. Namun, kematian Jayadarma di usia muda membuat Dyah Lembu Tal kembali ke Jawa Timur bersama anaknya. 

Seiring waktu, Raden Wijaya justru mendirikan dan memimpin Majapahit, menjadikannya sebagai pewaris yang sah dari dua kerajaan besar. 

Dalam Babad Tanah Jawa, Raden Wijaya atau Jaka Susuruh disebut sebagai keturunan Jayadarma yang seharusnya menjadi Raja Sunda jika Prabu Sanghyang Wisnu mangkat. Namun, takdir membawanya menjadi raja pertama Majapahit.

Sementara Sunda tetap berdiri sendiri sebagai kerajaan yang kuat. Hubungan antara Majapahit dan Sunda semakin rumit ketika di masa pemerintahan Prabu Maharaja Linggabuanawisesa, putrinya Dyah Pitaloka Citraresmi dipinang oleh Hayam Wuruk, Raja Majapahit. 

Pernikahan ini seharusnya memperkuat hubungan diplomatik kedua kerajaan. Namun, di tangan Gajah Mada, momen sakral ini berubah menjadi tragedi. 

Gajah Mada berambisi menyatukan Nusantara melalui Sumpah Palapa dan menganggap pernikahan ini sebagai bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit. Saat rombongan Sunda tiba di Bubat, ia menuntut agar Dyah Pitaloka diserahkan bukan sebagai calon permaisuri, melainkan sebagai simbol takluknya Sunda kepada Majapahit.

Tuntutan ini memicu kemarahan Prabu Maharaja Linggabuanawisesa dan para petinggi Sunda. Mereka menolak kehormatan kerajaan diinjak-injak. Dalam pertempuran sengit di Bubat, pasukan Sunda yang kalah jumlah bertempur hingga titik darah penghabisan. 

Prabu Linggabuanawisesa dan seluruh pengawalnya gugur, sementara Dyah Pitaloka memilih mengakhiri hidupnya demi menjaga kehormatannya. Peristiwa ini menjadi titik balik bagi Gajah Mada. 

Meskipun Majapahit tetap berjaya, Perang Bubat justru menjadi pukulan telak bagi kebijakan politiknya. Hayam Wuruk tidak serta-merta menghukum Gajah Mada, tetapi perannya di istana mulai dikesampingkan. 

Sumpah Palapa yang dicanangkannya dianggap tidak berhasil total karena Majapahit gagal menaklukkan Sunda sepenuhnya. Tragedi Perang Bubat menjadi noda hitam dalam sejarah hubungan Majapahit dan Sunda. 

Hubungan mesra yang pernah terjalin akhirnya hancur oleh ambisi politik, menjadi pelajaran bahwa kekuatan tanpa kebijaksanaan hanya akan melahirkan kehancuran seperti yang terjadi dalam sejarah Kerajaan Majapahit dan Sunda.

Muhlisin Arrasyd P
Reporter

Berita Terkini