Sultan Agung dan Kalender Jawa: Perpaduan Budaya dan Perlawanan terhadap Kolonialisme
KALENDER Jawa yang kini masih digunakan sebagian masyarakat di Pulau Jawa ternyata memiliki sejarah panjang yang berakar dari masa kejayaan Kerajaan Mataram Islam. Kalender ini konon mulai dikembangkan oleh Sultan Agung, raja ketiga Mataram.
Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma merupakan penerus Pangeran Hanyakrawati dan cucu dari Panembahan Senopati, pendiri Mataram. Di bawah kepemimpinannya, Mataram menjelma menjadi kerajaan besar yang wilayah kekuasaannya meluas hingga ke bagian timur Pulau Jawa.
Salah satu terobosan budaya terbesar Sultan Agung adalah menciptakan Kalender Jawa Islam, yang memadukan sistem penanggalan Hijriyah yang digunakan masyarakat pesisir dengan Kalender Saka yang dianut masyarakat pedalaman.
Inovasi ini bukan hanya sebagai alat administrasi kerajaan, tetapi juga simbol pemersatu masyarakat Mataram yang plural dari segi budaya dan keyakinan. Kalender ini dimulai dari bulan Suro, yang hingga kini diperingati dalam berbagai tradisi Jawa.
Selain gagasan kebudayaan, Sultan Agung juga dikenal karena keberaniannya menentang penjajahan. Dalam buku Tuah Bumi Mataram: Dari Panembahan Senopati hingga Amangkurat II karya Peri Mardiyono.
Diceritakan bahwa Sultan Agung sempat menyerang Batavia demi melawan kekuasaan VOC. Saat VOC mengirim utusan dari Ambon pada 1614 untuk menjalin kerja sama, tawaran itu langsung ditolak Sultan Agung.
Namun kondisi politik dan ekonomi dalam negeri sempat membuat Mataram goyah. Pada 1618, kerajaan mengalami gagal panen akibat peperangan panjang melawan Surabaya. Meski menghadapi krisis pangan, Sultan Agung tetap enggan tunduk pada kekuatan kolonial Belanda.
Baru pada 1621, dengan pertimbangan strategis menghadapi Surabaya dan Banten, Mataram mulai membuka komunikasi dengan VOC. Namun persyaratan Sultan Agung ditolak VOC, hingga ia beralih mencari sekutu lain.
Salah satu langkah diplomatiknya adalah menjajaki kerja sama dengan Portugis demi menandingi kekuatan Belanda. Di tengah pergolakan tersebut, ekspansi wilayah Mataram terus berlanjut. Pada 1622, wilayah Sukadana di Kalimantan berhasil ditaklukkan.
Di tahun 1636, Mataram juga menguasai Palembang dan sejumlah wilayah di Sumatera. Sultan Agung bahkan menjalin hubungan diplomatik dengan Kerajaan Makassar, kekuatan utama di Sulawesi saat itu.
Namun di balik ekspansi militer dan diplomasi luar negerinya, Sultan Agung juga menanamkan nilai-nilai kebudayaan dan sistem pertanian. Ia memperkuat karakter Mataram sebagai kerajaan agraris yang berbasis pada kehidupan rakyat.
Kebijakan ini membuat kerajaan semakin kuat dari dalam, meski berdampak pada kemunduran wilayah pesisir seperti Surabaya dan Tuban yang merupakan pusat perdagangan.




































































