Cerita Keberanian Jenderal Intelijen Minta Soeharto Mundur dari Kursi Presiden Indonesia

waktu baca 3 menit

PADA tahun 1988, Indonesia berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Presiden Soeharto yang telah berlangsung lebih dari dua dekade. Dalam situasi politik dikendalikan secara ketat oleh pemerintah, ada satu sosok jenderal intelijen yang berani mengambil langkah tak terduga. 

Dia adalah Jenderal Yoga Sugama, Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) dan Kepala Staf Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kaskopkamtib).

Sebagai seorang jenderal intelijen yang telah lama berada dalam lingkaran kekuasaan, Yoga Sugama bukanlah sosok yang asing bagi Soeharto. 

Kedekatannya dengan sang Presiden bermula sejak keduanya berada di Kodam Diponegoro, yang pada akhirnya membuat Yoga memahami dinamika politik serta karakter kepemimpinan Soeharto dengan sangat baik.

Ketika Soeharto berencana mencalonkan diri kembali dalam Pemilu 1988, Yoga mulai merasa bahwa sudah saatnya bagi Soeharto untuk mundur. Bukan karena ketidaksetiaan, melainkan karena kepeduliannya terhadap masa depan bangsa dan citra Soeharto sendiri. 

Menurut Yoga, masa keemasan Soeharto telah berlalu dan ia seharusnya pensiun dengan kehormatan sebelum kekuasaannya runtuh secara tragis. Selain faktor usia yang telah mencapai 67 tahun, Yoga juga melihat semakin mengguritanya bisnis keluarga dan anak-anak Soeharto. 

Ia khawatir bahwa hal ini bisa menjadi titik lemah yang pada akhirnya akan dimanfaatkan oleh lawan-lawan politik Soeharto untuk menggulingkannya di masa depan. Dalam pertemuan kecil di Jalan Cendana, Jakarta Pusat, Yoga menyampaikan pemikirannya kepada Soeharto.

Pertemuan tersebut dihadiri oleh beberapa tokoh penting, termasuk Benny Moerdani dan Sudharmono. Yoga dengan penuh keberanian meminta agar Soeharto tidak mencalonkan diri kembali sebagai Presiden RI.

Permintaan itu sontak membuat suasana tegang. Soeharto, yang terkenal dengan keteguhan hatinya dalam mempertahankan kekuasaan, tidak terima dengan usulan tersebut. Perdebatan pun terjadi antara Yoga dan Soeharto, sementara para hadirin lainnya memilih untuk menyimak.

Di tengah ketegangan tersebut, Ibu Tien Soeharto yang kebetulan melintas di ruang pertemuan memperhatikan situasi dengan seksama. Diam-diam, ia memberikan isyarat persetujuan terhadap pendapat Yoga. 

Namun, dukungan dari Ibu Tien pun tidak cukup untuk menggoyahkan tekad Soeharto. Pada akhirnya, ia tetap maju dalam Pemilu 1988 dan kembali memenangkan jabatan presiden untuk periode berikutnya.

Meskipun sempat bersitegang dengan Soeharto, Yoga Sugama tetap berada di lingkaran pemerintahan hingga tahun 1989. Ia terus menjalankan tugasnya sebagai seorang pejabat intelijen, tetapi tetap menyimpan kekhawatiran atas masa depan Indonesia di bawah kekuasaan Orde Baru.

Satu dekade berselang, apa yang dikhawatirkan Yoga akhirnya menjadi kenyataan. Pada tahun 1998, krisis ekonomi melanda Indonesia, diikuti dengan gelombang reformasi yang dipimpin oleh mahasiswa. 

Demonstrasi besar-besaran mengguncang Jakarta dan kota-kota lainnya, menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Akhirnya, pada 21 Mei 1998, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya setelah 32 tahun berkuasa.

Yoga, yang pada saat itu sudah tidak lagi menjabat dalam pemerintahan, hanya bisa menyaksikan bagaimana prediksinya menjadi kenyataan. Ia selalu menginginkan agar Soeharto mengakhiri pemerintahannya dengan cara yang terhormat, bukan dipaksa turun oleh rakyatnya sendiri. 

Sayangnya, kenyataan berkata lain. Keberanian Yoga Sugama untuk berbicara kepada Soeharto tentang akhir kepemimpinannya menjadi salah satu momen bersejarah yang menunjukkan bahwa tidak semua orang di lingkaran dalam Orde Baru hanya mengikuti arus. 

Ada yang berani bersuara, meski taruhannya besar. Namun, sejarah mencatat bahwa reformasi lah yang akhirnya menutup babak panjang kepemimpinan Soeharto, bukan nasihat seorang jenderal yang setia.

Berita Terkini